Aku Tidak Melangkah Sendiri


Maz 23: Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.

Dalam masa puasa 40 hari di tambah 6 minggu Lent ini, hari ini saja saya harus menghapus 213 pesan dan video –semua tentang Covid 19. Banyak hoaks…. Banyak ketidak-pastian…  Rasa aman terlihat lenyap.  Rasa tidak berdaya mendominasi.  Memang, barangsiapa yang tidak merasa cukup takut pada saat ini, mungkin tidak mengetahui secara memadai apa yang sedang kita hadapi saat ini. Kaya dan miskin jadi sama….apa yang kita miliki tidak menjamin bahwa, kita bisa terluput dari ancaman virus ini. Bahkan, semua yang kita sayangi dapat terpapar.

Barangkali, bila di zaman Kristus ada di Israel kita ikut melangkah bersama-Nya dalam perjalanan menuju Golgota, perasaan kita seperti di atas… Rasa tak pasti, was-was, tidak berdaya… Namun, Ia sendiri tahu bahwa, bagi-Nya perjalanan ini bukan menuju suatu akhir, namun menuju saat membuka suatu gerbang yang baru bagi umat manusia.

Memang ada yang tidak takut.  Mereka meremehkan kuasa ketakutan, sakit penyakit, bahkan ancaman kematian dan kerusuhan.  Kalau mereka hidup di zaman dulu, mereka juga mungkin tak menghayati sehingga, mengecilkan beban emosi yang Kristus tanggung dalam melangkah menuju Jumat Agung dan kemudian Golgota. Was-was, rasa tidak pasti, gentar, rasa tak berdaya, dan berbagai hal lain dapat mewarnai hidup manusia. Itu harus diakui. Yesus saja mengakuinya. Namun kita tidak berhenti pada titik itu. Kita tidak melangkah sendiri, namun bersama Allah yang berkuasa dan pemurah.

Saat-saat ini terutama 14 hari ke depan, kita boleh merasa begitu rapuhnya sebagai manusia. Apa yang terjadi bila ternyata puncak penularan wabah ini tak tertangani? Apa yang terjadi bila seorang yang kita sayangi jadi kurban? 

Inilah saat kita jadi menyadari kembali bahwa kita—manusia- hanyalah ciptaan-Nya yang seringkali merasa pandai dan berkuasa. Musuh kita tidak terlihat dan seringkali menyerang tanpa kita memperlihatkan gejala yang nyata… namun, ia sudah di dalam diri kita…menjadikan kita alatnya untuk menulari orang lain.  Dalam minggu Lent ini, seyogyanya pertama-tama, kita belajar kembali untuk mengenali bahwa, hanya Allahlah yang memberi anugerah kehidupan bagi kita.  

Namun, konon, sejarah manusia sudah menyaksikan berbagai wabah. Wabah Kolera di 1820, flu Spanyol di 1920.  Kalau Allah sudah menjaga umat manusia berkali-kali di masa lalu, tidakkah kita perlu ingat bahwa, kita tidak akan melangkah sendiri menuju saat Jumat Agung? Inilah hal kedua yang perlu kita renungkan. Anugerah perlindungan dan proses belajar yang Ia berikan di masa lalu, tentu hadir juga di masa kini, sehingga untuk masa depan kita dan semua yang kita sayangi, Ia tetap memelihara dan mendampingi langkah kita, bukan? 

Ketiga, dalam masa menuju Jumat agung ini kita sedang diperhadapkan dengan kualitas iman percaya dan kesediaan kita menyandarkan diri pada kuasa-Nya. Dalam melangkah selama masa puasa ini kita dihadap-mukakan dengan kelemahan kita. Namun, sekaligus, masa ini masa mengingat anugerah-anugerah dari diri-Nya. Bila kita ingin dekat dan intim dengan-Nya, apapun yang terjadi di dua bulan atau tiga bulan ke depan, kita tidak akan melangkah sendiri, tetapi bersama-Nya. Itulah janji-Nya. (RIC)