Beragama Dengan Akal Sehat


Beberapa tahun belakangan ini, dalam kancah dunia keagamaan, tersuguh sebuah pemandangan yang sangat  luar biasa mengenai peran agama.  Kaum beragama berusaha menunjukkan peran dan keterlibatan mereka secara penuh dan mendalam dalam kehidupan publik, khususnya dalam politik praktis.  Satu sisi, keterlibatan ini sangat menggembirakan karena kaum beragama sadar bahwa kehidupan beragama tidak hanya berkaitan dengan ritual di ruang privat dan di ruang ibadah, melainkan juga berkenaan juga dalam urusan kehidupan praktis yang berkaitan dengan kehidupan sosial bersama.  Namun di sisi lainnya, kita melihat bahwa keterlibatan tersebut juga memunculkan sebuah semangat fanatisme membabi butayang sangat luar biasa; sebuah semangat yang ditunjukkan dalam perilaku yang berlebih-lebihan sampai-sampai menimbulkan segregasi atau pemisahan sosial bahkan di antara mereka yang dulunya sahabat, ujaran kebencian kepada kelompok lain yang tidak sepaham atau sepandangan, dukungan atau pun kebencian (ketidaksenangan) kepada pemimpin-pemimpin tertentu tanpa alasan yang jelas atau rasional, dan pemakaian identitas atau simbol-simbol keagamaan yang membedakan-menjauhkan.   Sepertinya, dalam suasana seperti ini, aku dan kau tidak lagi dapat bersama-menyatu.  

Sebenarnya, semangat keagamaan berbentuk fanatisme buta yang kita saksikan di zaman ini bukanlah sesuatu hal yang baru.  Mungkin semangat seperti itu sudah setua dengan melembaganya agama-agama yang begitu banyak di dalam dunia.  Alkitab Perjanjian Baru merekam semangat seperti ini dengan jelas.  Ketika Yesus hadir di dunia, Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana fanatisme buta itu tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat waktu itu.  Matius 5:20 secara implisit menegaskan fakta seperti itu. “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi,” demikian tegas Yesus kepada para pendengar-Nya,  “sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”

Apa yang tersirat yang peringatan Yesus tersebut?  Ia menyoroti pikiran sebagian pemuka agama di zaman-Nya yang mengira ketika mereka melakukan hukum-hukum agama secara lahiriah maka mereka sudah melaksanakan kehendak Allah.  Kalau kita menilik sejarah kehidupan pemuka agama seperti ahli Taurat dan golongan Farisi di zaman Yesus, mereka seharusnya diacungi jempol dalam menghidupi hukum agama secara lahiriah dan hurufiah.  Tidak ada satu iota atau titik pun dari hukum itu yang mereka lewatkan.  Mereka memakai jubah agamis, sembayang pada waktunya ketika mereka berada di manapun, rajin berpuasa sambil tetap beraktifitas seperti biasa, dan tak ketinggalan selalu mempersembahkan persepuluhan dari seluruh penghasil mereka.  Bagi banyak orang, ketaatan mereka sungguh patut diacungi jempol. Namun sayang, mereka berhenti sampai di situ saja.  Bahkan tidak jarang, orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dianggap sesat dan kafir.  Mereka sangat berbangga dan bersemangat dengan apa yang dilakukan.  Bahkan kecanduan.  Memang fanatisme buta membuat ketagihan.  Orang tidak dapat dan mungkin juga tidak mau melepaskannya karena fanatisme buta menyebabkan ketagihan.   Tapi  bagi Yesus, itu semua tidaklah cukup.  Tidak cukup jikalau manusia hanya menuruti hukum agama secara lahiriah dan menjadikannya sebagai identitas keagamaan dan tujuan akhir beragama.  Bahkan fanatisme seperti itu dapat merusak.  Karena itu, bagi Yesus, hidup keagamaan sejati tidak terletak pada hal-hal lahiriah melainkan pada intisari dari hukum agama.   

Bertentangan dengan fanatisme yang terjadi pada masa itu, Yesus menawarkan sesuatu yang berbeda. Yesus menyatakan para pendengar-Nya dan murid-murid-Nya atau pengikut Yesus itu “garam” dan “terang” dunia.  Dengan menyebut mereka sebagai “garam” dan “terang”, Yesus berbicara soal identitas keagamaan dari sisi yang paling dalam, yaitu hakikat keagamaan; sesuatu yang melampaui identitas yang bersifat lahiriah atau simbolik.  Dengan sebutan ini Yesus mau mengingatkan kaum beragama bahwa yang mesti ditonjolkan adalah intisari atau hakikat atau nilai-nilai agama yang sepatutnyalah menjadi identitas yang dimunculkan. 

Yesus mengatakan umat-Nya sebagai “garam”.  Secara umum garam punya dua fungsi: memberi rasa asin sehingga makan menjadi lebih enak rasanya dan mengawetkan daging atau makanan pada umumnya.  Ketika bercampur dengan makanan, garam tidak lagi kelihatan bentuknya tetapi dirasakan kehadiran dari rasa asin dan makanan menjadi awet.  Garam menghasilkan manfaat dan dampak justru pada saat ia larut.  Dengan mengatakan orang percaya adalah “garam” Yesus ingin hakikat keagamaan dalam diri umat-Nya ditonjolkan.  Ia ingin kita menjadi bermanfaat dan menghadirkan pengaruh dalam kehidupan kita kepada orang-orang di sekitar kita. Ia ingin agar kita menghadirkan rasa dari nilai-nilai kekristenan di tengah-tengah dunia yang hambar.  Ia ingin agar kehadiran kita dapat mencegah kebusukan dan pembusukan oleh dosa dalam hidup manusia. 

Kebenaran tentang hakikat keagamaan dalam kehidupan umat-Nya yang membawa manfaat nampak jelas ketika Yesus menyatakan bahwa para pengikut-Nya adalah “terang” dunia.  Kita tahu dengan jelas apa yang menjadi fungsi terang, yaitu untuk membantu manusia agar dapat meliaht dengan jelas sehinga bisa beraktifitas dengan leluasa.  Dan ketika Yesus menghubungkan terang itu dengan perbuatan baik dari umat-Nya, Ia mengingatkan para murid-Nya agar melakukan perbuatan-perbuatan baik yang dapat membuat orang lain memuliakan Bapa di sorga.

Kamulah garam dan terang dunia.  Itulah hakikat keagamaan yang sejati dan itulah identitas kita sebagai umat percaya. Apakah identitas garam dan terang itu nyata dalam hidup kita dengan menghadirkan manfaat bagi orang yang lain? Apakah pikiran, kata-kata dan tindakasn kita selaras satu dengan lainnya?  Apakah kita menghadirkan pengaruh positif dalam kehidupan ini?  Apakah kita mencegah pembusukan-pembusukan yang diakibatkan oleh dosa?  Apakah kita memberikan rasa bagi kehidupan orang lain? Atau justru sebaliknya:  Kita menyebarkan rasa tidak sedap dari kehidupan, menghadirkan kebusukan dari dosa yang kita jalani,  menebar fitnah, kebohongan dan lain sebagainya? 

Mereka yang menyadari hakikat dirinya sebagai garam dan terang dunia, tidak akan berbuat lain kecuali hidup menampakkan hakikat tersebut dan menjadi berkat bagi sesama.  Dengan melakukan seperti itu, fanatisme buta dibuang jauh-jauh dan yang muncul adalah akal sehat dari agama: membawa damai, keadilan, kebenaran dan kebajikan bagi sesama.  Mereka yang menyadari hakikat dirinya akan hidup dengan nilai-nilai yang sehat itu.  (SW).